how beautiful we are...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

_..cerbung.._




SURPRISE

“Ma, besok aku libur tiga hari,” kataku seraya menjatuhkan tubuh di atas sofa empuk, kepada orang yang paling kusayangi. Namun, pandanganku teralih kepada sosok wanita yang paling kukagumi itu. Ia tampak berbeda sekali dengan blazer merah jambu, bawahan berwarna senada, dan kerudung merah jambu pula yang di atasnya terangkai butiran manik-manik yang semakin menambah keanggunannya.
”Lho, Mama cantik bener, memangnya mau kemana sore-sore gini? Roxy baru pulang juga,” aku bertanya kepada Mama yang memang terdengar sedikit gusar. “Ini lho sayang, Mama dan Papa harus ke Bandung sekarang, Papa ada meeting mendadak di sana, baru saja tadi Pak Didit menelepon supaya Papa segera ke sana,” jawab Mama sedikit menghilangkan kegusaranku, yang kelihatannya Mama memang tidak mengizinkan aku untuk ikut. Sejak kecil aku terbiasa dimanja, jadi beginilah aku. Suka merengek kalau mauku tidak terpenuhi atau ngambek kalau dilarang pergi kemanapun yang aku suka, namun tetap saja aku ngeloyor pergi, bahkan tak jarang sampai pagi.
”Lalu Roxy bagaimana, masa Roxy sendirian di rumah,” seperti biasa, kata-kata rayuanku keluar dengan nada memanja. ”Kamu ini kan sudah besar, ditinggal beberapa hari juga kan tidak masalah. Ingat sekarang kamu sudah kelas dua SMP. Belajar mandiri apa susahnya sih?” Papa tiba-tiba keluar dari balik pintu kamar utama dengan petuah-petuahnya itu, ah...bosen juga lama-lama. Papa memang suka menasehatiku seperti itu. Biasa, anak tunggal. Tetapi, aku hanya membiarkannya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. ”Ayo Ma, sudah jam empat ni, Yogja-Bandung kan tidak dekat!” pinta Papa supaya Mama lekas bergegas. “Ya sudah, Mama dan Papa berangkat dulu ya sayang. Hati-hati di rumah, kalau ada apa-apa segera telepon Mama atau Papa. Kalau mau main, minta izin Mama atau Papa terlebih dahulu, biar kalau terjadi sesuatu kami segera tahu. Kalau urusan Papa sudah selesai, pasti kami akan segera pulang,” kata-kata Mama yang selalu membuatku kangen setiap kali aku tidak di samping Mama.
Tak lupa, kuantar mereka sampai di depan pintu, kucium tangan dan pipinya, “Titi DJ ya Pa, Ma. Aku sayang kalian.” Dan seperti dugaanku, mereka penasaran.”Titi DJ?” benar kan, mereka penasaran. ”Hati-hati di jalan...,”jelasku yang membuat penasaran mereka hilang. ”Oh...Mama pikir apa, Titi DR juga ya sayang.” Dasar, Mama masih sempat-sempatnya membalas candaku. Uh, memang ada Titi DR? Mama ngaco deh.
Yah, terpaksalah aku harus melepas kepergian mereka meskipun membuatku ingin menangis, tetapi saat itu kucoba untuk tidak meneteskannya karena hanya akan membuat mereka merasa bersalah. Setelah kupikir-pikir, kalau ortu pergi, enak juga ya. Aku bisa main sepuasnya. Nggak di larang-larang lagi seperti biasanya.
Tetapi ulang tahunku hari ini......

*** *** ***
“Roxeraa Ryan, ...ikutan kita-kita yuk...!” tak sampai kulangkahkan kakiku yang ketiga dari tempatku berdiri semula, terdengar teriakan yang memanggil nama panjangku. Yang sepertinya suara itu sudah tak asing lagi di telingaku. “Mau kemana memangnya? keren bener Lo,” tanyaku sambil menatap muka dari sang sumber suara, Minie, sobatku yang paling subur di antara yang lainnya. Minie tidak sendiri, ada Jeny, Edo, dan Noe, mereka juga teman-temanku satu kelas. ”Awak dewe arep kemah ki, melu ora?” sahut Noe yang suka menggunakan logat Jawanya, sering pula ia membuatku tidak mengerti. Lucu ya, orang Jawa kok dipanggilnya Noe. Sebenarnya nama panjangnya sih.... Sudirno Ramdana. He...he... Gengsi ya?
“Mmm...,O.K, deh. Tunggu aku ya. Tapi buat makannya gimana?” tanyaku kepada mereka berempat yang sepertinya acara kemping itu pun adalah acara nekat-nekatan. “Tenang..., ransel Minie udah penuh dengan pengganjal perut selama kemping kok, tapi sisain buat yang lain juga ya, Min,” jawab Edo yang memang menyindir Minie sambil melirik lipatan-lipatan perutnya. ”Eh...sialan loe, awas ya kamu,” Minie pun segera mengejar dan menjitak Edo. Sebenarnya, di sekolah atau di rumah, tema-teman lebih suka memanggilnya Minie daripada memanggil nama aslinya, padahal rekor sekolah “The Biggest” pun sudah didapatnya lho. Aneh ya, biggest kok di panggil Minie.

*** *** ***
Tak sampai lima belas menit, aku sudah siap kemping bersama mereka. Ransel yang tidak terlalau ringan, karena di dalamnya ada selimut dan baju hangat, sudah nangkring di punggungku. ”Memangnya kita mau kemping di mana sih, bukankah di sekolah saja kalian tadi sama sekali nggak membicarakan soal kemping?” tanyaku kepada Noe yang sebenarnya ingin kutanyakan sedari tadi. ”Di belakang rumah,” jawabnya singkat karena ia sedang fokus kepada old handphonenya. “Maksudnya dia sih dibelakang rumah...,emm...Rumah Tua,” jelas Jeny. “Apa? Kok loe pada ga’ bilang dari tadi sih. Itu kan..,” aku terkejut mendengarnya. ”Ya, kamunya juga yang nggak nanya,” timpal Minie.
Yup, yang aku dengar Rumah Tua adalah rumah yang misterius di tepi hutan yang sudah lama tidak tersentuh tangan manusia. Terakhir yang aku dengar, ada anak yang diculik lalu di sekap di Rumah Tua itu. Dan mayatnya ditemukan tiga bulan setelah kehilangannya. Dengan bola mata yang hampir seluruhnya keluar dari rongganya. Hi..hi..,serem kan?
“Ah, aku pulang aja deh, mumpumg belum terlalu gelap,” rengekku yang benar-benar ketakutan. “Ah, pengecut kamu, asal tau aja ya, kita tuh dah jalan terlalau jauh dari rumah. Masih mau pulang?” ancam Edo yang membuatku mengurungkan niat untuk pulang. Jarak rumah kami dengan Rumah Tua memang jauh, kira-kira dua jam kalau kalan kaki. Itu belum kalau kami menemukan jalan yang licin dan penuh rintangan. ”Gitu ya. Ya udah deh, aku lanjutin jalannya aja. Ow, ampe’ lupa telpon Mama kan! Lho, kok ga’ diangkat-angkat, ke Bandung apa ke dalam merapi sih. Bay the way, biarin aja deh. Lagian mereka paling udah lupain aku,” gerutuku yang mulai kesal karena sudah ku coba berulang kali tetap saja telepon dariku itu tidak diangkat-angkat. ”Nggak nelpon juga nggak pa-pa kok. Mereka juga dah tahu,” kata Minie sambil mencomot coklat pastanya. ”Pardon me?”pintaku agar Minie mengulang kata terakhirnya tadi. “Ah, bukan apa-apa kok. Lupakan saja.” Aduh hampir aja keceplosan.

*** *** ***
Sampai di sana kami bergegas membagi tugas, agar semuanya kelar sebelum langit benar-benar gelap. Aku dan Jeny kebagian mencari ranting untuk membuat api unggun. Sedangkan Minie menyiapkan makan malam ala kadarnya, dan para lelaki mendirikan tenda untuk bermalam kami.
Kami semua siap untuk berpesta. Api unggun, makan malam, dan iringan gitar akustik yang di lantunkan Edo pun siap menemani kami sampai tengah malam. Kupandangi sekeliling tempat kami mengelilingi api unggun. Semuanya tampak gelap gulita. Hanya terlihat setitik cahaya, sepertinya itu adalah obor milik penduduk sekitar yang jaraknya juga sekitar 400-500 meter dari kami. Penduduk sekitar memang masih menggunakan obor karena listrik belum masuk ke daerah tersebut. Pagar yang menjulang tinggi di hadapan kami pun tampak sudah berkarat dan tidak diurus, pagar itu merupakan pembatas Rumah Tua yang sangat megah itu. Kunci gembok besar pun menghalangi siapa saja yang ingin masuk.
“Hau...!”Jam di tanganku sudah menujukkan pukul sebelas. ”Eh, Jeny, kamu mendengar suara yang barusan itu nggak?” tanyaku sambil berbisik-bisik pada Jeny yang parasnya sama sekali tidak menunjukkan ketakutan.”Denger apa? Perasaan kamu kali,” jawabnya. ”Enggak kok, beneran deh. Apa memang aku sudah ngantuk banget ya?” Aku terdiam sejenak. “Hei, anter aku pipis yuk. Aku dah kebelet dari tadi nih,”aku meminta Jeny untuk menemaniku sambil menarik lengannya. ”Ya ayuk deh. Tapi jangan lama-lama ya! Hey guys, aku anter Roxy ke toilet dulu ya. Jangan biarkan makanan kita habis dimakan perut karet lho!” Minie pun langsung nyengir. Aku dan Jeny menuju toilet yang berada tepat di samping Rumah Tua, tak ada pilihan lain, karena hanya toilet itulah satu-satunya yang terdekat dari tenda kami.

*** *** ***

“Xy, aku tunggu di luar aja yah?”
“Kok gitu. Dalam gelap banget nih. Kamu masuk aja deh.”
Karena Jeny hanya menolak terus untuk menemaniku ke dalam, terpaksa aku sendiri yang masuk. Setelah urusanku selesai, ”Jen, ayo buruan balik lagi, aku udah nggak betah lagi di sini.” Jantungku terasa teriris. Aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah ini nyata, atau hanya mimpi. Kudekati apa yang baru saja membuat jantungku teriris itu. Tak kusadari, air mataku jatuh tak lagi tertahan.
“Jen..., Jeny, apa yang terjadi padamu? Jeny! jangan bercanda dong!” Jeny telah membeku menjadi es. Di wajah, tangan, dan kakinya terdapat goresan seperti cakar kucing, namun sepertinya bekas cakar ini lebih besar dari itu. Teman-teman, di mana mereka. Jangan-jangan terjadi hal yang sama dengan yang terjadi pada Jeny. Aku ingin berlari, tetapi sepertinya badanku tak kuasa lagi. Ada apa denganku, sepertinya.., aku tidak boleh lemas sekarang, tidak boleh, aku harus kuat. Syukurlah, aku masih bisa berlari. Kutuju tempat di mana api unggun dinyalakan. Oh, tidak api tidak lagi hidup. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
“Noe, Edo, kalian nggak pa-pa kan? Ayo jawab. Noe, Edo...! Oh iya, Minie, di mana Minie?” kutemukan Edo dan Noe sama seperti keadaan Jeny. Tetapi aku tidak boleh egois, aku harus segera temukan Minie, barangkali ia masih selamat. “Xy, Roxy, kaukah itu?,” aku mendengar suara yang sangat lirih. “Min, kamu kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi?” ku tengok asal suara itu. ”Tadi....,” belum sempat Minie menjawab pertanyaanku, dia sudah tak sadarkan diri.
Ada yang memegang bahuku? Oh Tuhan. Siapakah dia? Kulihat kebelakang, Oh Tuhan! Makhluk apa ini? Manusia bukan, hewan pun bukan. Kulihat sesosok yang pernah kudengar kisahnya dari orang-orang. Anak kecil dengan pakaian yang hanya menutup bagian kemaluan dan bola mata yang hampir seluruhnya keluar dari rongganya. Oh, Tuhan. Apa yang harus kuperbuat? Ku tak dapat berkata apa-apa. Mulutku terasa sukar sekali untuk di buka. Ia mengangkat tangannya dan siap menyerangku. Dengan sigap, kudorong tubuhnya ke belakang. Kesempatan tak kusia-siakan. Aku lari secepat yang ku bisa. Lolos sudah, tapi harus kemana lagi aku lari. Terbuka? Pagar Rumah Tua terbuka? Tanpa berpikir panjang lagi aku segera masuk ke Rumah Tua itu dan menuju ke ruangan remang-remang, sepertinya ini dulunya kamar seorang gadis karena dinding kamarnya penuh dengan lukisan bunga-bungaan dan boneka..
Kututup pintunya dan berharap tidak bertemu anak itu lagi. Sesaat aku bisa bernapas lega. ”Ma, Pa, aku janji nggak akan manja lagi. Aku janji!” teriakanku menggema di seluruh sudut rumah. Aku pun masih berharap Mama dan Papa mendengar kata-kataku barusan. Oh, tidak, dari luar ada yang ingin masuk. Ia berusaha mendobrak pintu, aku tak bisa lagi menahannya. Tak bisa! Dan akhirnya........

to be continue...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

scenery =D


99galleries.com | Forward This Picture To Your Friends

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Budaya Menyontek di Kalangan Pelajar


Kebiasaan menyontek di kalangan pelajar mungkin sudah menjadi hal yang biasa dilakukan atau bahkan telah membudaya. Menyontek merupakan hal yang telah lumrah dilakukan para pelajar. Bahkan tak jarang saya melihat atau mendengar seorang pelajar itu bangga ketika ia menyontek. Apa sih sebenarnya background para pelajar itu untuk nenyontek? Menurut saya, tidak ada hal khusus yang menuntut mereka untuk menyontek. Mereka menyontek hanya simpel alasannya yaitu supaya memperoleh nilai yang bagus, terutama saat ulangan. Namun setelah mereka mendapat nilai bagus, lalu apa yang bisa mereka dapatkan, rasa puas? Terus terang kalau saya pribadi, bila mendapat nilai bagus karena menyontek saya tidak akan puas. Sebenarnya guru memberikan ujian kepada para siswa dalam bentuk ulangan harian atau apa saja yang berwujud memberikan pertanyaan-pertanyaan mengenai materi pelajaran yang telah disampaikan, kan hanya untuk menguji kemampuan para siswanya. Bila nilai mereka baik dan sudah mencapai ketuntasan minimum maka guru telah sukses menyampaikan materi pelajaran itu dan mungkin bisa melanjutkan ke materi selanjutnya. Namun, bila nilai mereka jelek maka guru kurang sukses dalam menyampaikan materi pelajaran dan tentunya guru harus mengerahkan segala cara agar siswa-siswanya mampu mencapai standar ketuntasan minimum. Lalu bagaimana ketika guru memberikan ulangan harian dan ternyata nilai semua siswanya baik dan sudah mencapai standar ketuntasann minimum, padahal para siswanya mendapatkan nilai baik itu karena menyontek. Tentunya dari pihak guru sendiri akan berpikir bahwa para siswanya telah mampu menguasai materi yang telah disampaikan dengan dibuktikan nilai mereka yang baik-baik dan sudah mencapai standar ketuntasan minimum sehingga guru merasa tidak perlu mengulang pelajaran. Padahal, yang terjadi sebenarnya para siswan belum dapat menguasai pelajaran yang diberikan karena mereka mendapatkan nilai baik bukan karena usaha sendiri. Siapakah yang rugi di sini? Para pelajar kan yang rugi? Bagaimana tidak rugi, mereka yang menyontek kan sebenarnya masih perlu penjelasan mengenai materi pelajaran dari guru, padahal hal itu tidak didapatkannya disebabkan guru mereka sudah merasa para siswanya telah paham atau mampu menguasai materi. Memang, pelajaran bisa tidak hanya dari guru saja, kita bisa belajar sendiri, membaca buku, atau bertanya teman. Tapi kan tidak semua sari siswa yang meyontek itu mau menutup ketidakpahaman mereka terhadap materi pelajaran dengan hal-hal semacam itu. Yang ada malah mereka biasanya cuek dan akan sadar betapa meruginya menyontek itu ketika telah menghadapi ujian-ujian yang sesungguhnya seperti ujian kenaikan kelas atau Ujian Nasional. Oleh karena itu mulai dari sekarang kita harus hilangkan budaya menyontek dari diri kita. Pikiran-pikiran yang berbicara bahwa menyontek itu keren dan merupakan hal yang lumrah harus kita buang jauh-jauh agar nantinya kita tidak menyesal semudian. Itulah sekilas argumen saya mengenai mental pelajar Indonesia sekarang. Mohon maaf apabila ada pihak yang tidak suka ataupun tersinggung dengan argumen saya. Anggaplah perbedaan tanggapan akan suatu hal adalah hal yang biasa dan saya berharap kritik atau tanggapan dari teman-teman yang telah membaca argumen saya ini. Terimakasih......

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS